BERLIN, Menteri Luar Negeri Jerman, Sigmar Gabriel, Rabu (29/3/2017), memperingatkan, negosiasi keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) atau Brexit tak gampang untuk kedua pihak.
Gabriel juga mengatakan, sangat sulit bagi memahami sebuah negara dapat yakin mulai lebih baik sendirian berada di tengah lingkungan yg semakin global seperti dewasa ini.
Berbicara setelah Perdana Menteri Inggris, Theresa May, secara resmi menghitung mundur beberapa tahun menuju ke Brexit, Gabriel juga menjelaskan bahwa kesatuan 27 negara anggota UE lainnya mulai menjadi prioritas tertinggi Jerman dalam pembicaraan tersebut.
"Negosiasi pasti takkan gampang buat keduanya (Inggris dan UE)," katanya, sebagaimana dilaporkan oleh kantor berita Reuters.
"Perasaan buruk dapat dimengerti. Bagi banyak orang itu adalah hal yg sulit bagi dipahami, terutama pada masa-masa yg penuh gejolak, bagaimana orang mampu yakin bahwa mereka mulai lebih baik. Tapi ini tak mampu menjadi dasar bagi menentukan hubungan masa depan kita," ujar Gabriel.
May sudah resmi mengajukan surat pengunduran diri negaranya dari UE, Rabu (29/3/2017).
Surat itu mulai menjadi awal dari dimulainya negosiasi alot mengenai syarat-syarat keluarnya Inggris selama dua tahun mendatang yg menjadi ujian buat ketahanan UE.
Sembilan bulan setelah warga Inggris Raya memilih bagi keluar, May akhirnya menyerahkan surat kepada Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk bahwa negaranya mulai keluar dari organisasi tempat Inggris menjadi anggota sejak 1973.
May kini mempunyai waktu beberapa tahun bagi merundingkan syarat-syarat perpisahan sebelum benar-benar keluar dari UE pada Maret 2019.
Namun selain harus menghadapi perundingan keras dengan negara-negara UE yang lain terkait persoalan keuangan, perdagangan, tenaga kerja, dan keamanan, May juga harus mengatasi potensi perpecahan yg kini membayang di kerajaan yg menaungi empat negara tersebut (Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara).
Skotlandia kini telah mengajukan permohonan referendum buat merdeka dari Britania Raya.
Hasil dari perundingan dengan UE mulai menentukan masa depan negara dengan perkonomian terbesar kelima di dunia tersebut, terutama terkait status London sebagai salah sesuatu dari beberapa pusat keuangan global.
Sementara itu buat UE yg juga tengah mengalami persoalan krisis utang dan pengungsi, keluarnya Inggris mulai menjadi pukulan telak untuk organisasi yg sudah berusia 60 tahun tersebut.
Para pemimpin UE kini tengah menghadapi dilema.
Di sesuatu sisi, mereka tak ingin menghukum Inggris (dengan menerapkan pajak perdagangan sebagai balasan atas pembatasan tenaga kerja asing).
Namun di sisi lain, mereka juga harus tak boleh terlalu banyak memberi keleluasaan buat Inggris karena mulai menjadi senjata untuk kelompok anti-UE buat memperjuangkan hal yg sama.
Dalam waktu 48 jam ke depan, Dewan UE mulai mengirim rancangan panduan perundingan untuk 27 negara anggota. Tusk mulai menanggapi permohonan Inggris di Malta.
May sendiri berjanji kepada warga Inggris bahwa mereka masih mulai tetap milik akses terhadap pasar tunggal sekaligus menerapkan pembatasan pekerja asing dari negara-negara Eropa timur.
Namun di sisi lain, para pejabat UE menyampaikan bahwa kedua hal tersebut (perdagangan dan pergerakan bebas) tak mampu dipisahkan.
Hingga kini, warga Inggris masih bertanya-tanya soal apakah para eksportir masih mulai mendapatkan fasilitas tarif bebas dalam pasar tunggal, dan apakah bank-bank dari negara tersebut masih mampu dengan bebas melayani pelanggan dari anggota UE.
Source : internasional.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar