JAKARTA, KOMPAS - Peringatan Hari Pers Nasional setiap tanggal 9 Februari selama bertahun-tahun memunculkan pro dan kontra. Tidak seluruh komunitas pers setuju dengan tanggal penetapan itu. Kini, ruang bagi mengkaji ulang HPN akan terbuka.
Wacana bagi merumuskan ulang Hari Pers Nasional (HPN) akan muncul dalam seminar "Mengkaji Ulang Hari Pers Nasional" di Hall Dewan Pers, Jakarta, Kamis (16/2), yg digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia. Seminar ini menghadirkan tiga pembicara, merupakan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam; tokoh pers Atmakusumah; dan peneliti sejarah pers, Muhidin M Dahlan.
HPN dikukuhkan dalam Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Pemilihan tanggal peringatan HPN, antara lain, didasarkan pada pertimbangan bahwa 9 Februari 1946 yaitu tanggal terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pada masa Orde Baru, PWI adalah satu-satunya organisasi pers.
"HPN terus-menerus diperdebatkan karena tak seluruh komunitas pers setuju dengan penetapan HPN selama ini. Kita tak mampu selamanya berdebat, tapi harus mendiskusikan bersama. Jangan sampai kami terjebak pada pro dan kontra semata. Semoga ke depan hari pers dapat menjadi punya bersama," kata Ketua Umum AJI Suwarjono.
Menurut Atmakusumah, perdebatan tentang HPN yg telah berjalan 30 tahun mesti dirundingkan bersama. Organisasi-organisasi pers perlu duduk bersama merumuskannya.
"Yang terpenting, HPN ditetapkan sebagai momen perjuangan kebebasan pers dan kebebasan ekspresi menuju pemerintahan demokratis. Perumusan ulang HPN mesti didukung panitia yg mewakili seluruh organisasi pers," katanya.
Selain tanggal yg mesti ditetapkan, proses pelaksanaannya juga harus memperhatikan semangat kebersamaan. "Peringatan HPN idealnya dibiayai perusahaan-perusahaan pers, tak memakai uang APBN," ujarnya.
Tonggak sejarah pers
Penentuan HPN, menurut Muhidin, bukan sekadar mencari hari, melainkan juga tonggak sejarah pers nasional dan sejarah Indonesia. Muhidin mengusulkan tanggal kematian tokoh pers nasional Tirto Adhi Soerjo, 7 Desember, sebagai HPN.
"Menggusur 9 Februari dari HPN mungkin susah sekali. Tapi, mengambil 7 Desember (hari kematian Tirto) mampu menjadi evaluasi dengan menetapkannya sebagai Hari Jurnalis Indonesia," ucapnya.
(Baca: Anomali-anomali di Seputar Hari Pers Nasional 2017)
Salah sesuatu warisan legendaris Tirto adalah surat kabar Medan Prijaji. Di tangannya, pers menjadi wahana buat melatih rakyat jelata membela hak-haknya di hadapan penguasa. Dia menerbitkan Suluh Keadilan karena pers ke depan pasti mulai berhubungan dengan pasal-pasal. Putri Hindia sebagai tonggak pers perempuan bahkan melatih sendiri wartawan-wartawannya.
Asvi mengusulkan wacana penggabungan waktu berdirinya Medan Prijaji (Januari 1907) dengan HPN menjadi bulan pers nasional. "Seperti bulan Soekarno setiap Juni, misalnya, dapat digelar pula bulan pers nasional dari Januari dan memuncak pada 9 Februari agar semuanya kena," katanya.
Ketua PWI Margiono sepakat agar HPN tak terjebak debat kusir semata. "Hari pers harus memberi makna yg besar untuk koreksi pers nasional," katanya.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengakui adanya persoalan sejarah di balik penetapan HPN. "Kalau memang rekan-rekan wartawan milik ide penetapan ulang HPN, sebaiknya tak membekukan ide itu di internal organisasi, tapi digelar diskusi," ujarnya. (ABK)
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 17 Februari 2017, di halaman 12 dengan judul "Hari Pers Nasional Perlu Dikaji Ulang".
Source : nasional.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar