Di Balik Banjir, Longsor, dan Puting Beliung yang Silih Berganti

Posted by rarirureo on 2/28/2017

Di Balik Banjir, Longsor, dan Puting Beliung yg Silih Berganti

MAGELANG, - Sejak awal tahun, bencana alam, akan dari banjir, tanah longsor, hingga puting beliung, menerjang berbagai daerah di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, silih berganti.

Deputi Bidang Meteorologi Badan Meterorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Yunus S Swarinoto, bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung, tersebut terjadi karena dipicu oleh intensitas curah hujan yg cenderung meningkat.

Yunus menuturkan, hujan lebat, biasanya berlangsung dengan cepat dalam dua puluh menit saja ataupun hujan sedang yg berlangsung berjam-jam, mampu mengakibatkan longsor seandainya jatuh pada lereng pengunungan yg labil.

"Jadi yg berperan utama untuk hujan adalah intensitasnya dan lamanya berlangsung," ujar Yunus kepada Kompas.com.

Intensitas hujan itu sendiri dipengaruhi oleh dua unsur, seperti konvergensi angin yg ketika ini sedang berada di atas Pulau Jawa. Jika ada pasokan air yg cukup, angin yg berkumpul tersebut mulai memunculkan pertumbuhan awan.

"Uap air berasal dari suhu muka laut (SML) yg masih panas di sebagian wilayah Indonesia," kata Yunus.

Seorang pengendara motor dibantu warga menyeberangi material longsor buat menuju ke Kota Gorontalo.Sebagai contoh, BMKG mencatat suhu muka laut di Samudera Hindia Selatan Jawa Barat berkisar antara 28-30 derajat celcius pada medio Februari 2017 ini dengan anomali suhu muka laut 2-4 derajat celcius. Kondisi ini mengindikasikan suplai uap air sebagai pendukung pertumbuhan awan hujan di wilayah Jawa Barat dan Sumatera relatif tinggi.

Selain konvergensi angin, lanjutnya, ada juga belokan angin yg mengakibatkan pertumbuhan awan konvektif penghasil hujan. Lalu ada pula awan-awan yg ada di lereng pegunungan "dipaksa" naik oleh gerakan udara sehingga menghasilkan hujan orografi.

Awan-awan hujan tumbuh berdasarkan tingkat kelembaban suatu wilayah. Yunus menyebutkan, nilai kelembaban relatif di wilayah Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur hingga Papua Barat, berkisar pada lapisan 850 dan 700 mb, umumnya bernilai lebih dari 70 persen.

"Nilai kelembaban ini menunjukan bahwa keadaan udara basah yg berpotensi terhadap pertumbuhan awan-awan hujan cukup signifikan di wilayah tersebut," ungkapnya.

Cuaca ekstrem

Belakangan juga muncul istilah "cuaca ekstrem" yg kerap disebut-sebut sebagai penyebab bencana alam. Yunus menjelaskan ekstrem yaitu istilah bagi memamerkan istilah adanya keadaan lebih daripada nilai rujukan tertentu.

Hujan ekstrem lanjut dia, yaitu hujan yg melebihi ukuran 150 milimeter per hari. Namun demikian hujan ekstrem tak terus terjadi meskipun suatu wilayah masuk dalam musim hujan (MH).

"Sebagai contoh, ketika ini Jakarta masih masuk dalam musim hujan. Wajar saja seandainya sering terjadi hujan ekstrem. Tapi hujan ekstrem sangat jarang terjadi. Apalagi berurutan," ungkapnya.


Source : regional.kompas.com

Share this

Blog, Updated at: 10.30

0 komentar:

Posting Komentar