- Banyak yg menilai, tak cuma para eksekutif dan pekerja profesional yg harus dipanggil ekspatriat atau ekspat.
Pembantu rumah tangga dan pekerja kelas menengah bawah lainnya juga. Lalu apa sebenarnya ekspat itu? Apa bedanya dengan imigran?
Istilah ekspatriat memiliki beragam makna. Banyak konotasi dan asumsi tentang kelas ekonomi dan pendidikan yg dibawanya.
Lalu apa yg membuat seseorang dipanggil ekspatriat, sementara orang lainnya dipanggil pekerja asing atau migran?
Ekspatriat kerap digunakan buat menyebut seorang pekerja asing berpendidikan tinggi dan kaya.
Sementara beberapa istilah lainnya cenderung buat menggambarkan pekerja kelas menengah ke bawah. Misalnya tenaga kerja asing di negara-negara Timur Tengah.
Terminologi pekerja asing atau migran ada dan digunakan buat tujuan yg lebih politis, buat memberikan sentimen negatif atas posisi mereka di sebuah negara.
Ketakutan terkait keamanan profesi dan sentimen-sentimen yg meliputi persoalan imigrasi dan nasionalisme, memunculkan diskusi di berbagai penjuru dunia terkait siapa yg masuk kategori mana.
Namun,
Dr Yvonne McNulty dan Chris Brewster adalah beberapa akademisi yg berusaha bagi mengelompokkan orang dalam definisi tersebut.
"Ini tak ada kaitannya dengan warna kulit atau berapa jumlah gaji yg mereka terima," kata McNulty, peneliti ekspat di sekolah sains sosial Universitas SIM di Singapura.
"Apakah pembantu rumah tangga asing itu ekspat? Iya. Apakah tukang bangunan asing yg bekerja di bidang konstruksi, ekspatriat? Iya," katanya.
Ekspatriat di bidang bisnis, katanya, adalah pekerja asing resmi yg tinggal secara sementara di negara di mana mereka bukanlah warga negara. Tujuannya bagi mencapai target karier.
Namun, dalam praktiknya, bukan seperti itulah masyarakat memaknai panggilan ekspatriat, kata Brewster dari Sekolah Bisnis Henley, Inggris.
"Baik orang berpendidikan maupun orang kebanyakan, ekspat dihat sebagai orang asing yg kaya, berpendidikan dan elit," katanya.
"Sementara yg lainnya mereka sebut sebagai imigran atau pengungsi. Namun, secara logika ini tak tepat."
Padahal jumlah yg tak masuk dalam 'kategori' ekspatriat oleh kebanyak orang itu, tidaklah sebanyak mereka yg dibilang migran atau pengungsi.
“Jika mereka telah mendalami arti seluruh itu, mereka mulai memanggilnya sama; pengungsi, termasuk untuk yg sebelumnya dipanggil ekspat," ia menambahkan.
Salah paham
Brewster menegaskan, seandainya berfokus pada terminologi migran, itu ditujukan pada "orang yg ingin tinggal di sebuah negara dalam jangka waktu panjang, tapi dia tidak diizinkan. Mereka harus kembali pulang ke negara asalnya seandainya misinya telah selesai," katanya.
Apakah seseorang dapat disebut ekspatriat atau tidak, tidaklah bergantung pada negara asalnya - tapi lebih kepada motivasinya pindah ke luar negeri, kata Malte Zeeck, CEO organisasi InterNations, organisasi ekspatriat terbesar di dunia.
"Memanggil seorang orang asing sebagai ekspatriat tak lah berpengaruh pada keadaan politik dan sosioekonomi," katanya.
Dengan memaknai ekspatriat seperti apa yg diyakini sebagain besar orang ketika ini, "tinggal di luar negeri lebih kepada pilihan gaya hidup, tak karena paksaan himpitan ekonomi atau karena ditindas di negara asalnya," kata Zeeck.
"Itulah yg membedakan mereka dengan pengungsi atau migran karena alasan ekonomi. Namun, mencari arti ekspatriat sebenarnya, adalah hal yg berbeda,” kata Zeeck.
"Migran biasanya didefinisikan sebagai orang yg pindah ke negara yang lain bagi menetap selamanya di sana. Sementara ekspat pindah ke negara yang lain bagi jangka waktu terbatas, yg mungkin belum ditentukan," katanya.
Namun, dengan semakin derasnya globalisasi, dan cara orang berpindah di bumi ini selalu berubah cepat, seakan bumi tanpa batas, pengertian tersebut tentu harus dilihat lagi dan mungkin diganti.
Mengukur dampaknya
Mengubah definisi adalah sesuatu hal, tetapi tetap ada perbedaan yg mencolok terkait keadaan pekerjaannya.
Contohnya, seandainya kami membandingkan seorang bankir di Jenewa, dengan pekerja konstruksi di Qatar.
Misalnya, organisasi HAM, Amnesty International mengklaim bahwa pekerja bangunan di Qatar, yg sedang bergiat membangun stadion buat Piala Dunia 2022, para tukang bekerja dengan keadaan buruk. Gaji mereka tidak dibayarkan. Bahkan paspor mereka ditahan.
Dengan munculnya kontroversi itu, Qatar sudah menghentikan sistem kontroversial 'kafala', yg memaksa pekerja asing harus meminta izin terlebih lalu kepada induk semangnya, seandainya ingin berganti pekerjaan atau meninggalkan negara itu.
Meski telah ada perbaikan di Qatar, di Brazil, misalnya, masih ada celah hak dan gaji cukup besar antara mereka yg dipanggil ekspat dan mereka dengan terminologi lainnya.
Namun, apapun motivasinya, mayoritas kalian berpindah ke negara yang lain buat memperbaiki kehidupan. Apakah itu berujung dengan memperbaiki kehidupan ekonomi atau cuma pengalaman hidup, kata Zeeck.
"Kita berupaya bagi menolong memperbaiki dunia ini," katanya, "Bagaimana kami mendefinisikannya itu amatlah penting."
Source : internasional.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar