MAKASSAR, - Mendefinisikan Alwy Rachman (62) seperti mengurai benang kusut. Sastrawan, budayawan, penulis, aktivis, hingga pengamat politik menjadi sederet julukan untuk pengajar Fakultas Ilmu Budaya dan Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, ini.
Yang jelas, berbagai pengetahuan di kepalanya ia gunakan buat mendidik, bukan mendikte.
Jarum jam telah memamerkan angka 23.00, Jumat (11/11/2016). Namun, Alwy masih sibuk berdiskusi dengan sejumlah alumnus Universitas Hasanuddin (Unhas).
Ditemani mesin cetak berumur puluhan tahun di ruangan Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas), mereka membicarakan literasi. Direktur Lephas ini juga menerima permintaan tanda tangan bagi buku hasil karyanya.
Sekitar 10 meter dari ruangan itu, belasan mahasiswa Unhas berlatih menulis reportase. Sesekali Alwy mengunjungi ruangan yg dipenuhi poster seruan memperjuangkan petani dan warga miskin kota tersebut.
Ruangan berukuran 2 meter x 4 m itu sesak oleh papan tulis, meja, hingga buku-buku gerakan sosial, politik, filsafat, dan novel yg berserakan di lantai beralas karpet serta spanduk.
Meski sederhana, ruangan tersebut menjadi wadah mahasiswa belajar advokasi, pendampingan hukum, juga riset. Isu dalam kampus, seperti penggusuran pedagang kecil (dikenal sebutan ’mace’) dan mahasiswa yg terancam drop out, mereka garap.
Bahkan, mereka juga menggarap dukungan advokasi terkait reklamasi pantai di Makassar, hingga petani yg terancam digusur dalam pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat di Majalengka.
Ruangan itu yaitu sekretariat Lembaga Advokasi Mahasiswa (LAW) Unhas. Itulah ”hadiah” Alwy, sebagai Direktur Lephas Unhas kepada segelintir mahasiswa yg haus mulai ilmu.
Sejak 2012, ruangan itu menjadi ruang belajar baru mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu.
Di sanalah, Alwy berdiskusi bersama mahasiswa sedari sore hingga hari berganti. Tidak ada biaya kuliah tambahan alias gratis.
Buku-buku yg berserakan di mobilnya sering kala menjadi bahan diskusi harian para mahasiswa.
Suasananya cair. Para mahasiswa kebanyakan memanggilnya ”Kak Alwy”, bukan Bapak Alwy. Tidak jarang pula ia menjadi peserta diskusi dengan pemateri seorang mahasiswa.
Pengetahuan memang tidak terus tiba dari sang dosen. ”Asupan ilmu tiba dari mahasiswa. Mereka memberi inspirasi lewat pertanyaan,” ujar Alwy yg akan mengajar di Unhas sejak 1979.
Baginya, mahasiswa harus ”dikalahkan” dengan pengetahuan, bukan otoritas dosen. Dengan demikian, mahasiswa mulai terpacu bagi membaca dan kembali berdiskusi. Itulah sebabnya, hampir setiap malam di sekretariat LAW terus dipenuhi mahasiswa yg ”ketagihan” diskusi.
Alwy pun dengan senang hati memenuhi permintaan mahasiswa Unhas ataupun mahasiswa kampus lain, seperti Universitas Negeri Makassar dan Universitas Islam Negeri, bagi memberikan materi seputar sastra, budaya, hingga gerakan sosial.
Ini berbeda dengan keadaan para dosen ketika ini yg tidak jarang berjarak dengan mahasiswa bagi urusan seperti ini.
Perhatian besar Alwy terhadap mahasiswa bukan baru kemarin sore. Akhir 1980-an, saat menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Fakultas Ilmu Budaya dan Sastra (FIBS) Unhas, ia mengajak sejumlah mahasiswa membuat koran internal kampus. Karya bernama Libris itu mengambil slogan ”Newspaper without News”.
”Isinya tulisan kritis mahasiswa, bukan berita. Koran ini muncul bagi menandingi koran kampus yg kurang kritis terhadap masalah kampus ketika itu,” ujar Alwy.
Meski didanai dan dikelola sendiri oleh mahasiswa, koran itu dapat diterbitkan hingga 400 eksemplar setiap bulan.
Keberadaan Libris ketika itu memicu hampir setiap fakultas membuat surat kabarnya sendiri. Namun, birokrat kampus akan tidak senang dan melarang Libris diterbitkan lagi.
”Saya dipanggil Pak Dekan buat menutup penerbitan itu. Karena tak ada izin, berarti tak ada yg berhak melarangnya,” kenang Alwy. Meski demikian, Libris tidak bertahan lebih dari beberapa tahun.
Kala itu, julukan akademisi, aktivis, sekaligus penulis kian melekat dalam diri Alwy. Bersama almarhumah aktivis perempuan Sulawesi Selatan (Sulsel), Zohra Andi Baso, dan aktivis lainnya, Alwy mendirikan lembaga bantuan hukum Sulsel.
Alwy juga sempat menolong berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sulsel. Di Kabupaten Jeneponto, Sulsel, Alwy turut membangun sekolah demokrasi.
Soal menulis, ia sudah milik nama di media lokal ataupun nasional. Ia juga menulis sejumlah buku, seperti Gelas Kaca dan Kayu Bakar, yg bercerita tentang pengalaman perempuan mendapatkan hak-haknya dalam program keluarga berencana.
Karya lainnya, Ruang Sadar tidak Berpagar, diluncurkan di acara Makassar International Writers Festival (MIWF) 2015.
Alwy juga menjadi pembicara MIWF 2016 dan kerap dimintai pendapat tentang festival. Sarjana linguistik Unhas ini sejak 2013 hingga pertengahan 2016 menyempatkan diri mengasuh kolom khusus di sebuah surat kabar lokal.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS Alwy Rachman, pemenang sosok Bulan Januari 2017 menerima cinderamata yg diserahkan Kepala Perwakilan Kompas Makassar Mohammad Final Daeng, di Makassar, Selasa (14/2/2017). Alwy, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, konsisten menggiatkan literasi dan diskusi di kalangan mahasiswa.
Sejak mahasiswa
Alwy memang gemar membaca buku filsafat serta menulis sejak mahasiswa. Ia kerap berdiskusi dengan dosennya, almarhum Profesor Mattulada, ilmuwan Sulawesi.
Kecintaannya terhadap diskusi, menulis, dan membaca inilah yg mendorong ia menjadi dosen.
Yang khas dari peraih Celebes Award-penghargaan di bidang seni, sastra, dan budaya dari Pemprov Sulsel-ini, apa yg ia mampu terus ingin dibagi kepada generasi muda. Alwy menginisiasi komunitas literasi di Makassar bersama wartawan Irmawati Puan Mawar dan penyair Aan Mansyur, yg juga mahasiswanya.
Setiap beberapa minggu sekali sejak 2014, sekolah literasi berjalan. Sekitar 20 peserta yg berasal dari sejumlah kampus di Makassar turut serta. Tidak cuma di kampus,
♦ Lahir: 12 Mei 1954 di Makassar
♦ Pekerjaan: Dosen FIBS Unhas dan dosen Psikologi Unhas
♦ Riwayat Pendidikan:
- Linguistik, FIBS Unhas
- Post-graduate program di Institute for English Language Education (IELE), Universitas Lancaster, Inggris
♦ Istri: Ratna Basier
♦ Anak:
- Arwina
- Anita
- Taufik
- Putri
♦ Penghargaan: Peraih Penghargaan Menteri Sosial di Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) 2013, Celebes Award
Source : regional.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar