MANILA, Leila de Lima, Senator Filipina yg menyerukan pemakzulan Presiden Rodrigo Duterte mengaku khawatir dengan keselamatan jiwanya.
Kendati demikian, mantan menteri kehakiman ini mengaku tidak mulai mundur dan berdiam diri.
Dia kini mengambil langkah pengamanan tambahan, setelah mengkritik kebijakan Presiden Duterte dalam mengatasi kejahatan narkotika.
"Ada ancaman keamanan yg nyata atas saya, tetapi sikap aku adalah 'jika telah datang waktumu, ya itulah waktumu," tegasnya dalam wawancara dengan BBC.
De Lima mengaku tak dapat menjadi seorang pengecut dan mulai tetap mengungkapkan yg ingin dikerjakan atau disampaikan. Meski keselamatannya terancam.
Walau dikritik oleh pegiat hak asasi dan sejumlah negara Barat, Presiden Duterte tetap mempertahankan kebijakan tembak mati terhadap para tersangka pengedar narkotika.
Sejak Duterte berkuasa Juni 2016, diperkirakan sekitar 6.000 orang telah dibunuh tanpa proses hukum, baik oleh aparat keamanan maupun milisi bersenjata.
Bahkan, minggu dulu Duterte mengaku pernah membunuh tiga penjahat segera dengan tangannya sendiri.
Kala itu, Duterte masih menjabat sebagai Wali Kota Davao. Hal itu dikerjakan buat memperlihatkan kepada polisi bahwa mereka juga dapat melakukan hal yg sama.
Baca: Di Hadapan Para Pebisnis, Duterte Mengaku Pernah Membunuh Orang
Setelah pengakuan itu, de Lima menyerukan agar ditempuh proses pemakzulan atau penuntutan mundur atas Duterte.
"Hal itu tak mulai mencegah aku buat menyampaikan bahwa hal tersebut yaitu tindakan yg dapat dimakzulkan," tegas de Lima.
De Lima menambahkan, kebijakan tembak mati yg diterapkan Presiden Duterte dapat tergolong pembunuhan massal. Presiden seharusnya diminta bertanggung jawab.
Tidak banyak politisi di Filipina yg menentang kebijakan Presiden Duterte dalam 'perang melawan narkotika'. De Lima adalah salah seorang yg mengatakan penentangan secara terbuka.
Source : internasional.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar